Soal Macet & Banjir, Jokowi Dianggap Lebih Hebat dari Tuhan.

Kang Kardun adalah seorang perantau yang sukses di Jakarta. Usaha jongko bubur kacang ijo, mie rebus dan roti bakarnya maju pesat. Sudah dua puluh tahun dia bergelut dengan usaha tersebut. Kini, setelah merasakan pahit dan jatuh bangunnya usaha, ia merasakan manisnya kerja keras. Lima buah jongko dengan beberapa pegawai telah memberikan penghasilan yang lebih dari lumayan dibanding gajih seorang manajer sekalipun. Maka tak heran, ia mampu membeli sebuah rumah yang bagus di Jakarta sini untuk ditempati bersama keluarga selain rumahnya yang di kampung tempat ia mudik di waktu lebaran.

Siang itu, ia sedang bernyanyi-nyanyi di halaman rumah sambil menyalakan motornya.
“Darah muda, darahnya para remaja. ”
Wew romanisti ternyata dianya. Alias penggemar bang haji Rhoma. Treeet ah, petik melodinya kang Kardun. Ternyata kang Kardun prinsipnya sama dengan penulis. Dangdut No! Rhoma Irama Yes…hiks hiks hiks.

“Wew yang merasa muda…, gak malu liat uban udah nongol di kepala. Lagi seneng nih, kayaknya ada sesuatu.” Terdengar celetukan dari balik pagar yang membuat kang Kardun menengok ke arah sumber suara. Nampak seorang anak muda sedang tertawa memandangnya, tangan orang itu menggenggam jeruji pagar.

“Eeeh Ujang, sini.. sini masuk, kita ngopi.” Kang Kardun tersenyum kecil mendengar ledekan dari Ujang yang ternyata tetangga rumahnya sambil melambaikan tangan menyuruh masuk orang itu. Walau sudah menjadi orang kota, kang Kardun masih tidak lupa kebiasaannya di kampung yaitu menawarkan minum kepada tamu.

“Boleh… Boleh… Ada rokoknya ngga?” sahut Ujang sambil membukakan pintu pagar lalu melangkah masuk dan duduk di kursi yang tersedia di teras.

Kang Kardun mengikuti dari belakang, di depan pintu masuk ia berteriak ke dalam rumah.
“Ma… Pangdamelkeun (tolong buatkan) kopi dua, aya (ada) tamu.” Kemudian dia duduk di kursi setelah menyimpan bungkus rokok dan korek gas di atas meja. Ujang dengan senang mengambil sebatang rokok dan menyalakannya.

“Mangga (iya),” terdengar sahutan dari isterinya di dalam. Tak butuh lima menit, isterinya keluar sambil menenteng baki berisi gelas kopi dan makanan kecil. “Eh Ujang, kamana wae nembe katinggal?” tanya isteri kang Kardun sambil meletakan minuman dan makanan di meja.
*kemana aja baru kelihatan.

“Ada saja ceu, biasa… Kemarin-kemarin Poncol lagi rame. Kebetulan sekarang lagi sepi. Jadi libur dulu ah.”

“Syukur atuh kalo rame mah, sok dileueut (silahkan diminum).” Tanpa menunggu jawaban, isterinya kang Kardun kembali masuk ke dalam.

“Nuhun (makasih),” sahut Ujang.

“Gimana… Gimana… Ada urusan apa nih, tumben-tumbenan maen ke sini?” tanya kang Kardun dengan tatapan penasaran.

Ujang hanya senyam-senyum mendapat pertanyaan ini. “Nggak gimana..gimana sih kang. Cuma pengen maen aja.”

“Oooh… Kirain ada apa. Kebetulan atuh, mau nggak temenin saya ke dealer?”

“Kapan?”

“Sekarang?”

“Mang mo ke dealer apa?” tanya Ujang sambil melirik ke arah motor kang Kardun. Masih bagus, pikirnya.

“Dealer mobil Jang, mo ngambil mobil.”

Mendengar berita ini, wajah Ujang nampak berseri-seri. “Waah mau beli mobil euy. Alhamdulillah atuh punya sodara teh kebeli mobil, suatu saat sayah bisa ikut diajak jalan-jalan.”

“Tenaang, kalo masalah itu mah. Bisa kan?”

“Bisa…bisa…tapi saya mesti pulang dulu mau ganti baju.”

“Ya iya atuh. Masa pake celana pendek seperti itu, nanti diremehkan sama orang dealer.”

“Huuh kang, penampilan suka menipu,” timpal Ujang sambil menyeruput kopinya.

Selang beberapa menit kini mereka sedang dalam perjalanan menuju dealer mobil yang dituju oleh kang Kardun. Mereka menggunakan motor milik kang Kardun.

Ketika melintas jalanan langganan banjir, nampak air memenuhi jalan. Mereka pun terhadang banjir.

“Wah banjir Jang, bagaimana kalau kita dorong saja motornya yah biar bisa lewat trotoar kalo terlalu dalem airnya,” gerutu kang Kardun sambil nengok ke belakang minta pendapat Ujang.

“Hayo lah, abis mo gimana lagi,” sahut Ujang sambil turun duluan dari motor diikuti kang Kardun.

“Gimana nih Jokowi, kok masih banjir saja yah Jang,” ucap kang Kardun sambil mendorong motornya.

“Ah kang Kardun mah. Memangnya pak Jokowi teh lebih dari Tuhan sampai-sampai semuanya mesti bisa diselesaikan oleh beliau,” sahut Ujang senyum-senyum.

“Maksudnya gimana Jang?” tengok kang Kardun penasaran.

“Tuhan saja tidak mampu untuk menuntaskan banjir ini karena manusia di kota Jakarta semakin padat. Bangunan bertambah banyak. Tanah resapan air semakin berkurang. Sedangkan laut tempat menampung air dari sini begitu dekat dan tingginya hampir sama dengan daratan. Sampah-sampah yang berserakan karena dibuang sembarangan menyumbat saluran air sedangkan saluran air tertutup aspal bagaimana mau dibersihkan coba. Otomatis air tidak turun ke mana-mana. Ke tanah tidak, ke got tidak. Hasilnya ya banjir ini. Kalau kita bisa ngobrol dengan Tuhan dan mengeluh tentang banjir ini mungkin Dia akan bilang, kalian kan yang ingin banjir, kini ketika banjir datang kenapa kalian mengeluh. Sepertinya Aku tidak sanggup mengatasi banjir ini. Hari ini kuangkat banjir, besok kalian buang sampah lagi, bangun lagi, tutup saluran lagi, bikin banjir baru mana selesai-selesai coba.”

Ujang nyerocos dengan penuh semangat. Kang Kardun hanya ngangguk-ngangguk mengiyakan. “Bener juga yah Jang. Banjir tidak akan beres-beres kalau begini terus keadaan kita.”

“Huuh. Saat ini kang Jokowi hanya bisa berusaha meminimalisir banjir sesuai dengan yang dia mampu. Kalau tidak didukung oleh kita mah, ya jangan salahkan beliau kalo banjir datang lagi tiap tahun.”

“Bener tah Jang.”

Urusan dorong mendorong motor untungnya tak lama, karena dealer yang dituju tidak terlalu jauh. Mereka pun masuk ke dalam setelah memarkirkan motor di halaman. Kebetulan posisi dealer lebih tinggi dari jalan, hingga air tidak masuk ke dalam.

Mereka disambut ramah oleh sales. Disuguhi teh manis, yang semanis sales girlnya. Terlihat senyum cerah di wajah-wajah mereka. Sales tersenyum karena senang mobilnya terjual, terbayang target dan bonus yang bakal diterimanya. Kang Kardun senang, terbayang naik mobil bersama keluarga dan dikagumi orang. Ujang tersenyum, merasa bahagia karena kang Kardun bahagia!

Setelah cangcingcong, pulanglah mereka. Ternyata banjir kini telah surut. Hilang satu masalah datang masalah lain. Jalanan kini macet!

“Eleuh… Eleuh ini macet. Mana panjang begini. Kang Jokowi teh gimana yah, katanya mo ngatasin macet tapi kenyataannya mah masih macet juga,” keluh kang Kardun sambil menyelipkan motornya diantara mobil.

“Ah jangan ngeluh gituh atuh kang. Bukan salah Jokowi atuh. Kan barusan akang juga baru beli mobil baru,” tukas Ujang santai.

“Lah, apa hubungannya antara saya ngeluh kinerja Jokowi ngatasi macet dengan saya beli mobil baru?” tanya kang Kardun tidak mengerti.

“Ada atuh. Nih yah kang, jalanan Jakarta teh udah susah untuk diperlebar. Sedangkan tiap hari mobil dan motor dijual. Belum pernah kan tidak dengar mobil nggak kejual satu bijipun setiap harinya?”

“Belum.”

“Nah itu, mobil baru masuk terus tiap harinya. Sedangkan daya tampung jalan segituh-gituh aja. Pastinya macet terus. Kecuali, kita sadar. Mau naik angkutan umum. Satu mobil dipakai ramai-ramai atau satu kereta diisi ribuan orang. Bukan satu mobil dipakai seorang doang. Nah kalau mau sadar, insya Allah macet ini berkurang. Sekali lagi Jokowi hanya bisa meminimalisir, tanpa kesadaran kita mah, sia-sia saja. Misalnya nanti MRT ataupun angkutan massal lainnya diperbanyak tapi yang berminat sedikit ya percuma saja. Jadi pada dasarnya kalau kita terjebak macet, hanya satu sikap yang mesti kita lakukan. Yaitu nikmati saja. Karena kita sendiri yang ingin macet ini terjadi. Tuhanpun tidak akan mampu mengatasi macet jika kita tidak sadar diri apalagi Jokowi.”

“Eta si Ujang bener lagi. Terus gimana yah kalo kita ingin cepat-cepat terbebas dari macet dan banjir secara cepat menurut kamu?”

“Nah kalo yang ini Jokowi tidak akan mampu menjawab tapi saya bisa?”

“Gimana?” tanya kang Kardun penasaran.

“Akang pulang kampung. Biar usaha di Jakarta, tapi ngaturnya dari kampung saja. Mobil bawa pulang. Pasti akang tidak kena macet dan kena banjir karena kampung akang di sisi gunung bukan?”

“Haha…. Bisaan euy si Ujang ngasih solusinya. Bener juga yah. Kalo tidak mau macet ya jangan hidup di Jakarta intinya hahaha….”

“Sumuhun (iya) kang.”

Begitulah kisah kang Kardun dan si Ujang menyikapi macet dan banjir yang kini sedang menjadi sorotan di bawah kepemimpinan Jokowi.

Miris kita, mengharapkan Jokowi bersikap lebih hebat dari Tuhan. Padahal Tuhanpun dalam al-Qur’an bersabda “Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum jika kaum itu tidak mau merubah nasibnya”.

Kita ingin terbebas macet dan banjir. Namun dalam keseharian kita malah menciptakan macet dan banjir itu sendiri. Siapa yang bisa mengatasi hal yang mustahil ini. Kira-kira anda bisa? Kalau anda bisa, maka anda lebih hebat dari Tuhan? Tapi itu tidak mungkin!

Waktunya untuk nyanyi lagu Rhoma lagi. Berjuang… Berjuang…

Salam hangat.

Tinggalkan komentar